MOROSARI, CAKRAWALA YANG MENANTI DISAPA (I)
December 20, 2013 at 4:27pm
Berangkat
ke Semarang karena sebuah rindu tak terperi untuk jumpa Bapak dan Ibu.
Tak lagi ada penerbangan Bandung-Semarang, sehingga perjalanan dengan
kereta sunyi di malam hari dilakoni juga. Didampingi anak lanangku yang
ke-3, Tama, perjalanan dengan kereta ternyata terasa nyaman, karena bisa
tidur sepanjang jalan. Sampai di Semarang, menemukan jawaban, bahwa
kerinduan tak tertahan itu ternyata menyiratkan suatu pesan : Ibu gerah
(sakit), beberapa komplikasi degeneratif, seperti biasa terjadi pada
orang sepuh. Maklumlah, Ibu sudah 75 tahun, dan alhamdulillah, Ibu dan
Bapak selalu memberi kode telepati jika sedang bermasalah dengan
kesehatannya ....Kebetulan beberapa hari sebelumnya, sahabat tercinta Ari dan Fifi mengontak, ingin jumpa. Kata Ari kangen, ehm ... (sama Ar). Kami sudah berpuluh tahun tak jumpa, meski berteman di SMA, tapi kami lebih dekat saat SD, dan beberapa tahun terakhir hanya bertegur sapa lewat pesbuk. Alhamdulillah bisa ketemu lagi. Ternyata Ari kembali ke Semarang untuk berdinas mengamankan uang negara di kota kelahiran kami.
Sementara itu, Fifi mengundang untuk menengok satu lokasi gaweannya di pojok Sayung, sebuah daerah perbatasan Semarang-Demak. Aku janji untuk memenuhi undangannya, selain kangen, tentu juga tergiur oleh pemandangan laut dan iming-iming menu sea food bumbu Bali-nya. (Sori Fi hehe). Aku menawari Ibu untuk turut, tak disangka, beliau mau. Juga mengontak seorang sahabat, Anna, yang tiap aku ke Semarang setia menemani makan baso. Bersama seorang sahabatnya dan sahabatku juga, Candra; dan Tama tentu saja, kami berangkat mengendarai Avanza bapakku. Berbekal petunjuk arah dari teman-teman dan Ibu, dan feeling sebagai driver, aku kendarai Avanza dengan kecepatan 80 KM/jam, lumayan ngebut untuk ukuran jalur non-tol. Perjalanan melalui jalan arteri, masuk dari Puri Anjasmoro tembus ke Terminal Terboyo, dan lanjut bablas ke arah Demak. Setengah jam nyetir (rada ngebut), sampailah kami di tepian Sungai Sayung. Tepat di bawah gerbang perbatasan Semarang-Demak, mobil berbelok patah ke kiri, memasuki jalan off road yang lumayan. Ancar-ancar dari Fifi : “15-20 menit off road”. Hmmm, menantang juga untuk uji nyali dan ketrampilan menyetir yg tak pernah diuji secara riil ....
Jalan yang dilalui berlebar sekitar 5 meter, sebelah kiri perumahan dan/atau rawa, sebelah kanan Sungai Sayung, yang dihuni oleh berbagai pepohonan khas pesisir : waru, jati, dan mangrove (?). Sepanjang jalan yang berlekuk tanpa irama, dengan beberapa lubang berlumpur bekas hujan, cukup membuat perjalanan agak tersendat. Sebagai sopir yang berbakat (ehm), aku mengutamakan kenyamanan penumpang, jadi berusaha memainkan gas dan rem se-melodis dan se-harmonis mungkin, agar mobil yang shock breaker nya memang bukan kelas mobil penumpang menjadi tidak terlalu terasa terbanting-banting seperti roller coaster di Dufan. Beberapa kali penumpang mengeluh, tapi sopir tetap tenang. Berprinsip pada : karakter seseorang bisa dinilai dari caranya mengemudi, maka aku berusaha untuk tetap santai dan menyetir sambil bernyanyi-nyanyi spt biasa .... Sayang tidak ada CD lagu yang up to date, hanya ada kaset campursari, keroncong, dan dewi yul era lawas. Terpaksa nyanyi sendiri saja, tak peduli penumpang suka atau tidak, yang penting semua happy .... (to be continued ....)
MOROSARI, CAKRAWALA YANG MENANTI DISAPA (II)
December 21, 2013 at 5:13am
Kira
kira setelah sepuluh menit perjalanan yang penuh gelombang, kami
disambut oleh jalan beton yang mengingatkanku pada Tol Cipularang saat
pertama dioperasikan. Tapi ternyata jalan beton mulus itu kembali
diikuti oleh aspal yang tak lagi mulus. Mulai tampak perahu-perahu kecil
yang bersandar sepanjang tepian Sungai Sayung di sebelah kanan jalan.
Di sebelah kiri jalan tertangkap tingkah polah anak-anak nelayan yang
bermain-main begitu lepas dan merdeka, tanpa pengasuh seperti anak-anak
kota yang ke mana-mana di”ikat” oleh baby sitternya. (Dan dendangku
kembali bernada rap, rock, dan disko chacha, mengikuti alunan jalan yang
lama-lama terasa nikmat).Kira-kira 25 menit sampailah kami ke “tanah yang dijanjikan”. Petugas palang pintu sepertinya sudah mendapat mandat dari Nyai Roro Fifi Alfiah Sang Penguasa Pantai Morosari untuk menyambut kami dengan ramah dan hangat. Seperti menemukan oase setelah perjalanan di padang pasir, Pantai Morosari melambai-lambai cantik, membuat bulu kudu bergidik saking takjubnya. Takjub, karena di timur Semarang yang terkenal gersang terselip keindahan cakrawala yang terpingit. Jauh di ufuk cakrawala pelabuhan Semarang dengan puncak-puncak bangunannya. (Keinginan pertama yang muncul adalah : fotooo .... hehehe). Yes, the real beautiful backround arounds me!
Di sebelah kanan ada dermaga, sebelah kiri Pantai Semarang di batas cakrawala, dan pandangan ke depan adalah laut lepas dengan perahu nelayan yang sedang bercanda dengan gelombang menyanyikan harmoni alam dan kehidupan ....
Nyi Roro Fifi Alfiah pun muncul menyambut dengan pelukan hangatnya. Hilang penat perjalanan mengarungi aspal dengan lekuk likunya yang menyimpan misteri. Masuk ke dalam restoran yang dibuat dari kayu, menuju balkonnya yang menghadap ke cakrawala lepas. Angin laut menyapa genit, memainkan kerudungku yang tak mau diam, terus melambai dan menari-nari. SubhanaLlah. Dan tiba-tiba harum masakan sea food menyentuh saraf-saraf penciumanku. Kali ini kulupakan baso, pacar setiaku untuk sementara, karena terbayang hidangan lain yang lebih eksotis. Aha, sepinggan perkedel rebon (atau entah apa namanya, terbuat dari udang kecil digoreng dengan tepung dan telur) terhidang di meja resto. Tangan tak bisa dihela, lidah enggan untuk menunda, sepotong perkedel rebon pun masuk ke dalam mulut ....Menyusul selanjutnya campuran ikan, cumi-cumi, kepiting, dan udang bakar yang disajikan dengan bumbu Bali. Juga sepinggan kerang mutiara favoritku, berlumur bumbu Bali yang luar biasa menghantam selera. Nendang bangeeeet! Sebakul nasi dan dua piring ca kangkung yang hijau dan segar plus tomat membuat tak sabar untuk memulai santapan siang itu. “Ayo Fi, mari kita makan,” bukan Tuan Rumah yang menawariku, tapi aku yang menawarinya untuk memulai. Sungguh tamu yang sangat ramah bukan? Hahaha.
Sambil makan, Fifi bercerita bahwa restoran dibuat sebagai magnet utama agar wisatawan datang ke Pantai Morosari. Pantai ini merupakan proyek pemerintah daerah Demak yang selama ini agak terbengkalai. Restoran tempat kami duduk, mengambang di atas pantai, dan sejauh mata lepas memandang, beberapa daratan yang masih muncul di permukaan. Ternyata pantai Morosari selama ini adalah korban abrasi, daratan pantai yang termakan oleh lautan dalam area yang cukup luas. Salah satu pekerjaan yang dipimpin Fifi ini, dalam jangka panjang adalah menahan abrasi dan memunculkan lagi daratan dengan membuat beberapa pemecah gelombang. Pembicaraan yang setengah serius membuat makan tambah lahap dan tanpa disadari seluruh hidangan amblaaaaas .... Ini lapar atau rakus? Dan betul banget kata Fifi, menu masakan sea food Morosari tak terlupakan, terus terkenang, dan akan membuat kembali lagi ....
Di mataku, Pantai Morosari sangat potensial untuk dikembangkan. Setidaknya untuk menghidupi masyarakat di sekitar situ sudah cukup. Jangan malah dijadikan sumber pendapatan untuk orang-orang “di atas” lho yaaa .... Potensi yang sudah jelas terlihat adalah: pemandangan yang indah, khususnya bagi para pecinta horison/cakrawala. Dan buat para pencari suasana sebagai jeda di tengah hiruk pikuknya kehidupan. Potensi berikutnya adalah pangan lautnya. Fifi cerita bahwa bahan makanan restoran dipasok oleh nelayan setempat, yang melaut dengan perahu kecilnya. Segala jenis makanan laut pun ada. Untuk kangkung, ya tinggal ciblok, tumbuhlah. Pertanyaannya adalah : mengapa jalan belum dibangun secara lebih memadai? Berapa biaya yang dibutuhkan? Dan berapa biaya renovasi bangunan serta landscape di Morosari untuk meningkatkan daya jualnya? Prediksi Fifi, untuk perbaikan jalan 5 M, renovasi 5 M juga ya Fi? Sepuluh Milyar, rasanya bukan angka yang terlalu besar untuk pengembangan suatu wilayah yang akan menjadi investasi masyarakat. Konon hanya seharga satu kursi di DPR .... So, why? (to be continued)
MOROSARI, CAKRAWALA YANG MENANTI DISAPA (III/FINAL)
December 22, 2013 at 11:45am
Dalam lamunan sesaatku di terik matahari yang sebentar lagi condong ke Barat, aku sangat berharap, Morosari dapat terus berkembang, seperti Pantai Marina, Semarang. Untuk itu tentu saja dibutuhkan dana dan dukungan struktural maupun infrastruktural. Semoga Pemerintah dan DPR tidak hanya disibukkan dengan pencitraan dan gegap gempita pengumpulan suara, namun melakukan usaha nyata untuk mengangkat kehidupan masyarakat sekaligus menjaga lingkungan. In harmonia progressio! (teteup mengambil slogan ITB, hehehe). Sesaat sebelum berpamitan, aku memejamkan mata. Dan semua itulah yang terekam sesaat, sebelum melambaikan tangan kepada Fifi. Terus semangat, berjuang untuk daerah dan tanah kelahiranmu Kawan!
Gelombang laut Morosari bergemuruh menyapa
Dan anginnya berbisik, mengusik, menghela
Mata ragaku terpejam, kendalikan kesadaran, tajamkan rasa
Dan ingatan meloncat pada kisah Sang Maharaja
Raden Patah, putera terakhir Majapahit yang bersinggasana
Yang mengibarkan bendera Islam di Kerajaan Demak Bintoro
hingga ke Pajang
Tak terbayang, enam abad lalu
Demak adalah pusat kekuasaan dan ilmu pengetahuan.
Terdengar sayup dalam sukma,
Nyanyian dan zikir para Sunan dan Wali
Fatahillah, Gunung Jati, hingga Mas Karebet Si Jaka Tingkir,
Para guru yang menyampaikan ilmu, memberi arah kepada cahaya.
Dan waktu menyapa,
Bergulir berputar dengan irama semesta raya.
Saat niat suci bercampur dengan ambisi dunia,
Atas itu semua kekuasaan berganti, dari Raden Patah, Pati Unus, hingga Sutawijaya,
dengan pertumpahan darah,
Dengan tangis dan airmata.
Demak, adalah salah satu inti kristal kekuasaan Nusantara ....
Yang menyimpan sejarah bernilai luar biasa
Sebagai cerminan dan renungan kita semua.
Kita hidup hanya sekejap mata.
Sebisanya bermanfaat, bukan hanya buat diri dan ambisi,
Namun juga buat sesama.
Bandung, Des 2013